Meski tidak ada
catatan yang pasti, diperkirakan kalau Islam masuk ke Pulau Jawa pada
akhir abad XIV atau awal abad XV. Ini antara lain dapat dibuktikan
dengan tulisan di batu nisan Maulana Malik Ibrahim tentang tahun
wafatnya, yakni tahun 1419 M, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit,
yang beragama Hindu. Di awal abad XV, dengan dukungan Walisongo, Raden
Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak. Dalam penyebaran agama Islam,
cara berdakwah para wali yang jumlahnya sembilan orang itu, dirasa
sesuai dengan sifat dan pembawaan masyarakat Jawa, sehingga dalam waktu
yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama
Islam. Setelah
Demak, berdiri beberapa Kerajaan Islam di Ternate, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara pada abad XVI, sehingga agama
Islam menjadi agama yang dianut mayoritas penduduk nusantara.
Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati. Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan yang terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2. Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
3. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4. Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5. Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
6. Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
7. Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
8. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon)
Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati. Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan yang terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2. Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
3. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4. Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5. Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
6. Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
7. Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
8. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon)
Ada beberapa faktor pendukung bagi cepatnya penyebaran Islam di Indonesia.
Pertama, sebagai agama tauhid (tawhîd), Islam menampilkan manusia dalam kedudukan yang sama (musâwah) dan bebas dari penghambatan sesama makhluk (hurriyyah). Prinsip tauhid ini merupakan ajaran yang sama sekali baru yang menarik dan membebaskan manusia dari belenggu lama yang membagi manusia ke dalam kelas-kelas.
Pertama, sebagai agama tauhid (tawhîd), Islam menampilkan manusia dalam kedudukan yang sama (musâwah) dan bebas dari penghambatan sesama makhluk (hurriyyah). Prinsip tauhid ini merupakan ajaran yang sama sekali baru yang menarik dan membebaskan manusia dari belenggu lama yang membagi manusia ke dalam kelas-kelas.
Kedua,
watak Ahlussunnah wal Jamaah yang moderat telah membentuk perilaku
dan sikap para penyebar Islam. Seperti diketahui, para wali dan
penyebar Islam di nusantara adalah penganut Ahlussunnah wal Jamaah
yang teguh. Dengan penuh kearifan, dakwah mereka lakukan secara tadrîj
(evolusi) dan sejauh mungkin memperkecil beban yang bisa dirasakan
masyarakat (taqlîl al-takâlif).
Ketiga,
Islam dapat menjadi agama rakyat karena disampaikan dengan penuh
kedamaian dan menghormati tradisi dan nilai secara arif berdasarkan
prinsip-prinsip:
1. Nilai lama yang secara diametral bertentangan dengan akidah disikapi dengan cara menolaknya secara argumentatif.
2. Nilai lama yang tidak sesuai dengan syariat diluruskan secara bertahap.
3. Nilai lama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dibiarkan terus keberadaannya dan diberikan nafas Islam.
1. Nilai lama yang secara diametral bertentangan dengan akidah disikapi dengan cara menolaknya secara argumentatif.
2. Nilai lama yang tidak sesuai dengan syariat diluruskan secara bertahap.
3. Nilai lama yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dibiarkan terus keberadaannya dan diberikan nafas Islam.
Perkembangan
Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah bertambah pesat ketika
generasi penerus Walisongo dan penyebar Islam lainnya mengembangkan
strategi dan pendekatan penyebaran Islam melalui lembaga pesantren.
Pesantren tampil dan berperan sebagai pusat penyebaran dan pendalaman
agama Islam secara lebih terarah. Dari pesantren lahir lapisan
masyarakat dengan tingkat kesadaran dan paham agama yang relatif utuh
dan lurus.
Pada tahap-tahap
awal, lembaga pesantren memang lebih memfokuskan perhatiannya pada
upaya pemantapan tauhid dan pembinaan tashawuf. Pesantren kurang
memperhatikan pendalaman keilmuan Islam. Ini antara lain disebabkan
literatur ke-Islaman, karya ulama-ulama terkemuka masih sangat
terbatas.
Pada pertengahan
abad XIX kontak langsung antara umat Islam di nusantara dan dunia Islam
lainnya, termasuk umat Islam di negara-negara Arab, mulai terbuka.
Sebelumnya karena kepentingan politik penjajah Belanda, hal itu sulit
dilakukan. Kontak dengan dunia Islam itu bukan saja melalui jamaah
haji ke Tanah Suci, tapi juga melalui sejumlah pemuda nusantara yang
belajar di negara-negara Arab. Banyaknya literatur di pusat studi Islam
di Timur Tengah, telah memungkinkan para pelajar dari Indonesia
mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas dan pandangan yang lebih
terbuka.
Di antara para
pelajar dari nusantara adalah KH. M. Hasyim Asyari, KH. A. Wahab
Hasbullah dan KH. M. Bisri Sansuri. Ketiganya belajar di Makkah saat
ide Muhammad Abduh dan paham Wahabi sedang gencar-gencarnya
diperbincangkan dan disebarluaskan. Ide Muhammad Abduh antara lain
adalah ajakan terhadap umat Islam agar segera bangkit dari dunianya yang
beku dan melepaskan diri dari keterikatannya dengan pemikiran mazhab
yang mengakibatkan kebekuan itu. Kaum Wahabi menilai praktek-praktek
keagamaan umat Islam telah bercampur dengan syirik, tercampur dengan
keyakinan lama yang belum ternetralisasikan, sehingga perlu
dibersihkan.
Paham dan gerakan
Wahabi, yang dirintis oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab, merumuskan dan
menyajikan paham keagamaan dalam bentuk yang sistematis. Ide dasarnya
berpangkal pada ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah, yang dalam banyak hal
mengikuti garis mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal. Saat Abd al-Aziz ibn
Saud berhasil merebut kekuasaan di Hijaz (sekarang Arab Saudi), paham
Wahabi dinyatakan sebagai paham negara yang resmi. Hal ini menjadikan
paham dan gerakan Wahabi cepat menyebar. Selain itu, penyebaran paham
ini juga dibawa oleh para jamaah haji dari berbagai penjuru dunia, di
samping oleh para pelajar yang memperdalam ilmu agama di Makkah.
0 komentar:
Posting Komentar